Stres adalah respon tubuh
nonspesifik terhadap tuntutan apa saja. Faktor yang menyebabkan stres disebut stresor. Stresor dapat berupa
faktor internal atau eksternal atau stimuli yang mengakibatkan stres, seperti
faktor fisik, biologis, lingkungan, situasi, kejadian, peristiwa dan spiritual.
Stres internal atau stres subjektif disebabkan oleh interaksi pikiran dan tubuh, misalnya bagaimana kita
memandang makna sebuah situasi. Stres eksternal adalah peristiwa atau kejadian
yang dipandang atau dirasa sebagai stresor, contohnya kematian pasangan hidup,
perceraian, luka atau sakit.
Stres dibagi menjadi tiga:
1. Eustres
Stres jangka
pendek yang memberikan kekuatan,
bersifat menantang namun masih dapat dikendalikan. Eustres juga meningkatkan
antusiasme, kreativitas,
motivasi, dan aktivitas fisik. Contoh: kompetisi.
2. Distres
Stres yang
dipandang atau dirasa terlalu berat dan sulit untuk diatasi, sehingga sering merasa
terjebak dan tidak bisa keluar dari permasalahan.
3. Hyperstres
3. Hyperstres
Bila seseorang
didorong keluar melampaui batas kemampuannya bertahan dan mengatasi tekanan.
Muncul sebagai akibat dari kondisi beban lebih (overload) atau bekerja keras.
Saat terjadi hal ini,
bahkan stimulus terkecil dapat memunculkan respon emosi yang sangat kuat.
4. Hypostres
Saat seseorang
merasa hidupnya monoton,
tidak ada tantangan dan membosankan. Sering tidak bersemangat, gelisah, apatis.
FUNGSI OTAK DAN STRES
Di subcortex terdapat
dienceaphalon yang terdiri dari ganglia basalis, thalamus, dan hipotalamus.
Diencephalon ini mengatur emosi seperti takut, benci, gairah, marah dan
euforia. Jika tidak terdapat jaras desenden dari korteks, maka seseorang akan
cenderung beraksi secara tak terkendali dengan emosi yang ekstrim. Di wilayah
ini, hipotalamus yang sangat penting dipelajari untuk bisa memahami respon
tubuh terhadap stres dalam kaitannya terhadap HPA Axis.
SISTEM ENDOKRIN DAN
STRES
Dalam merespon stres, sistem
saraf simpatik aktif bekerja sama dan berkoordinasi dengan sistem endokrin.
Reaksi stres pada tingkatan seluler bersifat menyebar, menyeluruh dan bersifat
serius. Takut, misalnya, memicu lebih dari 1400 reaksi stres fisik dan kimiawi,
mengaktifkan lebih dari 30 hormon dan neurotransmitter yang berbeda.
Seluruh sistem respon fisik
melibatkan, terutama, epinefrin dan norepinefrin. Kedua hormon ini memiliki
efek yang dramatis pada saraf simpatik selama masa stres yang intens.
Stres >> (HPA Axis) hipotalamus mengeluarkan CRH >>
Hipofisis mengeluarkan ACTH >> adrenal mengeluarkan kortisol. Hans Selye
(sayangnya tahun 1984) merupakan peneliti pertama endokrin dan stres mengatakan
bahwa terdapat hubungan antara stres emosi dan penyakit. Emosi seperti marah,
takut, sedih, bersalah menyebabkan kelenjar hipotalamus terstimulasi berlebih
dan kelenjar adrenal membesar. Selanjutnya akan dibicarakan soal dua hormon
stres penting: adrenalin dan kortisol
ADRENALIN DAN
KORTISOL
Menurut waktu kerjanya, adrenalin
memiliki waktu kerja yang singkat sementara kortisol punya momentum besar dan
bekerja untuk waktu yang lama. Sistem stres menjadi aktif bila otak memandang
bahaya atau ancaman dalam bentuk apapun. Di awal, akan terjadi pelepasan
adrenalin sehingga sistem saraf simpatis tereksitasi. Respon ini dipandang
sebagai fight atau flight.
Adrenalin adalah hormon stres
yang menghasilkan perasaan semangat yang intens, mengahasilkan kondisi “puncak”
sama kuatnya dengan narkoba. Jumlah adrenalin yang meningkat dapat membuat
orang merasa hebat, kuat, dan memiliki banyak energi, hanya butuh sedikit
tidur, dan cenderung merasa semangat dan antusias. Banyak profesional yang
menyukai pekerjaan yang menantang dengan kadar stres yang tinggi dapat menjadi
ketagihan pada stres. Mereka sebenarnya bukan ketagihan pada tantangan, namun
pada aliran adrenalin.
Adrenalin membuat otak fokus,
menajamkan pandangan, tekanan darah dan denyut jantung meningkat, dan
mengkontraksi otot otot sebagai persiapan untuk mekanisme fight or flight. Hal
ini terjadi karena dalam mekanisme fight atau flight tubuh membutuhkan tenaga
lebih besar, sehingga darah lebih banyak dialirkan, sehingga darah dari kulit,
sistem pencernaan, dialihkan ke otot tungkai.
Saat stres berlangsung lama,
membuat hormon ini terpompa terus menerus dalam tubuh. Misalnya jika seseorang
memendam terus menerus perasaan marahnya. Keadaan ini akan mengakibatkan tubuh
toleran terhadap adrenalin.
Namun jika level kortisol dan
adrenalin mulai menurun maka akan terjadi efek negatif dari turunnya hormon
stres ini. Bisa saja seseorang merasa tidak nyaman, gelisah dan timbul berbagai
pikiran negatif. Ini penting untuk diketahui, kita hanya merasa kondisi negatif
ini SAAT tubuh kita bergerak menuju kondisi yang lebih rileks.
Tidak ada komentar