Bagi yang kuliah di sekitar
kampus, pasti tahu betul betapa menjamurnya usaha yang satu ini. Iya betul,
apalagi kalau bukan laundry. Di setiap jalan besar, gang, tikungan, bahkan di
jalan buntu sekalipun usaha ini muncul terus menerus bak koruptor. Uniknya,
saya belum pernah melihat ada usaha laundry yang bangkrut, makin menjamur iya. Coba
kita melihat lebih dekat, apa si yang dicari oleh para pengguna jasa laundry
ini?
Kata mereka penggunanya, laundry
jadi pilihan karena menghemat waktu. Sehingga waktu untuk mencuci yang berjam
jam itu dapat digunakan untuk hal yang lebih penting, mengerjakan tugas
misalnya. Ada juga yang beralasan, tinggal taruh pakaian kotor, bayar, dan
secara ajaib pakaian tersebut jadi bersih kembali, menunggu kita kotori lagi.
Ada juga yang secara jujur menjawab, malas mencuci, dan memang tidak terbiasa
mencuci, daripada mencuci tapi masih kotor lebih baik dilaundry. Ada juga yang masih agak baik, melaundry jika perlu saja. Jika benar benar lelah, benar benar sibuk, atau alasan logis lainnya. Di luar sana, masih
banyak alasan lain yang tidak tercantum kenapa seseorang melaundry pakaiannya.
Bicara tentang alasan orang
melaundry, sebenarnya ada satu kesamaan: instan. Tinggal taruh, ga usah repot,
pakaian bersih kembali. Jika dilihat secara jujur dengan orang yang mencuci sendiri,
sebenarnya tidak terdapat perbedaan yang ekstrim pada waktu yang dimiliki
pencuci mandiri dan pelaundry. Pencuci mandiri tetap bisa tidur siang, main
futsal, main game, ngedate, ngopi, ngerjain tugas, belajar dan segudang
aktivitas lainnya, persis seperti para pelaundry. Lalu, dimana bedanya?
Ingat pelaundry saya jadi ingat
perilaku yang serupa. Kita masyarakat yang sudah disuguhi berbagai macam budaya
instan. Kita mau segala sesuatunya bisa tinggal taruh, bayar, ditinggal, dan
kemudian secara ajaib semua telah selesai. Dan ini tercermin dari banyak cara
kita bertindak. Contoh nyata untuk urusan kesehatan. Berbulan bulan tidur
seenaknya, begadang, makan makanan ga sehat, ditambah jadwal makan yang
berantakan dan kemudian secara tiba tiba kita jatuh sakit. Di saat sakit kita pergi
ke dokter, dan kita mau obat yang dalam sekali minum dapat membuat tubuh
langsung merasa lebih baik. Berbulan bulan merusak tubuh sendiri, lalu
menginginkan pil ajaib untuk kesembuhan, sangat instan bukan?
Kita keracunan semua yang instan
bukan hanya soal kesehatan dan pencucian, tapi sampai urusan kehidupan pribadi.
Kita tidak belajar soal bagaimana membangun hubungan yang sehat, tidak belajar
tentang bagaimana cinta bekerja, kemudian secara kebetulan kita bisa memulai
sebuah hubungan. Kemudian kita warnai hubungan yang kebetulan kita miliki ini
dengan drama, rengekan manja, kecemburuan, kode kode ga jelas, hingga akhirnya
pasangan kita lelah. Di tengah kondisi seperti ini pasti kita ingin duduk
berdua, tanpa bicara banyak kemudian pasangan kita secara ajaib mengerti semua
kondisi kita dan masalah selesai. Voila!
Kita keracunan bahkan sampai ke
diri kita yang terdalam. Kita tidak lagi belajar untuk bertarung, memilah
pakaian kotor yang berwarna dan putih, memilih mana yang harus dicuci dengan
tangan dan yang bisa dengan mesin. Tidak lagi merasakan lelah dan sehatnya mengucek,
membilas dan mengeringkan pakaian dengan tangan sendiri. Kita membiarkan diri
kita menyerahkan cucian kita dicuci oleh orang lain untuk kemudian kita kotori
lagi.
Sebenarnya agak wajar si kalau
menemukan usaha laundry banyak di dekat kampus. Banyak mahasiswa yang mengaku
sibuk, tidak punya waktu, dan segudang alasan lainnya untuk tidak mencuci. Tapi
bahkan di desa sayapun laundry sudah punya pelanggan lho. Unik dan sangat
mengejutkan, karena budaya ini terus menjamur.
Tapi saya tetap memutuskan untuk
mencuci sendiri kok, yuk mencuci. Salam sadar J
Tidak ada komentar