Apa hubungannya Ahok dan presuposisi NLP? Apalagi itu
makanan NLP? NLP atau Neuro-Linguistic-Programming sejatinya adalah sebuah
kompleksitas hubungan antara bahasa (linguistik), cara berpikir dalam hal ini
otak (neuro) dan program yang berjalan ditengahnya. Tidak perlu membahas NLP
panjang lebar, namun dari kasus yang heboh ramai dimedia sosial akhir-akhir
ini,
mari kita belajar melihat kasus ini dari tiga presuposisi/hukum NLP. Oke
kita akan bahas satu persatu
1. The Map is not the territory
Presuposisi
pertama NLP ini mencoba menggambarkan peta sebagai pemandu dan teritorial atau
lokasi sebenarnya adalah realita. Coba mari kita lihat kota kita masing masing
di google maps, apple map, waze, dan atlas dunia yang kita beli saat SD dan
bandingkan satu sama lain. Semuanya mencoba menggambarkan lokasi yang sama, namun
tidak semuanya berbentuk sama bukan. Dan yang terpenting, sebaik apapun peta
yang kita pegang, peta tersebut hanya gambaran dan bukanlah lokasi sebenarnya.
Peta yang kita pegang adalah pemandu, pembantu, penolong ketika kita akan
menuju sebuah lokasi, dan bukanlah lokasi itu sendiri. Dari sebuah lokasi, kita
masing-masing bisa membuat peta/persepsi terhadap lokasi itu. Dari sebuah
kejadian, kita semua memiliki peta yang masing-masing bisa saja berbeda
menggambarkan kejadian tersebut.
Lalu
apa hubungannya dengan kasus Ahok? Nanti dulu pelan pelan. Dari presuposisi ini
kita dapat belajar bahwa sebuah kejadian sebenarnya tidaklah memiliki makna
tertentu. Kita yang memberikan warna, makna dan persepsi terhadapnya. Dan
persepsi itulah yang nantinya membentuk tindakan kita. Namun pertanyaannya,
apakah tindakan kita itu dibangun atas sesuatu yang berdasarkan dengan realita
teritori, atau hanya berdasarkan peta yang kita inginkan saja?
2. People respond according to their internal maps
Presuposisi
kedua masih ada hubungannya dengan yang pertama. Presuposisi kedua ini mencoba
menggambarkan, bahwa seseorang bertindak berdasarkan peta internal
masing-masing. Karena sebuah kejadian tidaklah bermakna, berwarna dan tanpa
persepsi maka kita perlu menambahkan bumbu agar bisa kita nilai, resapi,
hayati, maknai dan kita menilainya berdasarkan peta internal kita
masing-masing. Jadi bisa dibayangkan dong betawa berwarna, panjang, lebar, dalam,
luasnya kemungkinan yang bisa muncul dari satu peristiwa? Dan oleh karena itu
bisa dibayangkan juga dong respon yang sangat beragam dari satu kejadian?
Namun
setiap pilihan tindakan kita adalah berdasarkan peta internal kita, apa yang
kita anggap benar. Belum tentu orang lain anggap benar. Dan dalam presuposisi
NLP, kita menghargai apa yang orang lain anggap benar, karena kebenaran orang
lain pun setara dengan kebenaran kita. Sama sama hanyalah kebenaran peta saja,
buka teritorial itu sendiri.
Pertanyaan
untuk dinilai kali ini: Bagaimanakah peta internal orang lain? Apa yang perlu
saya resapi, hayati, renungkan dan rasakan dalam peta orang lain tersebut?
3. Meaning operates context-dependently
Presuposisi
yang ketiga berkata, makna bergantung dengan konteks. Maksudnya apa si?
Maksudnya adalah makna atau arti sebuah kejadian hanya ada jika kita memberikan
konteks pada kejadian tersebut. Konteks ini yang diributkan oleh media sosial,
menggunakan kata “pakai”, ada juga yang ribut kata “pakai” itu sama artinya
dengan tidak kata “pakai”. Bukan kata “pakai” yang sedang kita ributkan, namun
konteks yang berbedalah yang membuat perdebatan kata “pakai” tidak akan menemui
titik temu. Kenapa? Karena keduanya beroperasi pada dua konteks yang berbeda.
Sehingga penilaian keduanya hanya akan memperuncing masalah, merasa pihak lawan
kurang pinter, pihak lawan tidak mengerti bahasa, pihak lawan tidak mengerti
agama dan lain sebagainya. Hal ini terjadi karena dua konteks yang berbeda
disandingkan dalam satu percakapan yang setala, akhirnya? Ya ribut saja. Jadi
jika kita mau mencoba mengerti lawan bicara, cobalah mengerti makna dimana dia
sedang mengambil tindakan. Kok daritadi mencoba mengerti orang lain terus?
Kapan kita dimengertinya? Ya sebagai orang dewasa memang waktunya mencoba
mengerti orang lain bukan?
Dan setelah itu setiap tindakan yang kita ambil memang berdasarkan rasio logika
pertimbangan yang sehat dengan pemahaman yang lebih utuh dari pihak lawan
bicara. Bukankah ini lebih manis?
Jadi apa hubungannya Ahok dan Presuposisi NLP?
Tidak ada komentar